Istriku, Habibah, adalah istri cerdas nan sabar, walaupun sabarnya hanya berlaku sampai jam 9 pagi. Setelah itu, nadanya naik satu oktaf tiap aku bilang, “Nanti aja, Yah lagi sibuk.”
Anakku, Faqih, umur 5 tahun, hobinya nanya terus. Dari nanya kenapa langit biru, sampai kenapa ayam gak punya alis. Hidup kami sederhana. Tapi tiap hari ada drama: dari tumpahan susu sampai colokan rebutan.
Masalah mulai muncul saat aku—eh, Yusron—kecanduan game online. Awalnya untuk “refreshing”, ujung-ujungnya refresh terus, kerja enggak. Aku duduk depan laptop, headset nempel, jari-jari menari di keyboard seperti pianist kena setrum.
Habibah awalnya sabar. Tapi sabar itu bukan tanpa batas. Apalagi pas dia tiga kali injak colokan headset yang belum diberesin.
Dia bilang pelan tapi menusuk, “Mas, kamu itu... jauh di mata.”
Aku langsung mikir, “Wah, ini romantis nih, mungkin dia kangen aku pas belum nikah.”
Tapi dia lanjut, “...dekat di kaki.”
Aku bengong. “Maksudnya?”
“Ya itu! Aku gak lihat kamu bantuin apa-apa, tapi kabelmu di mana-mana! Nginjek kabel chargermu udah kayak ujian sabar tiap pagi!”
Dug! Itu bukan sindiran. Itu kombo kritik dan fakta.
Akhirnya aku janji berubah. Tapi seperti biasa, janji laki-laki kadang fleksibel. Sore itu aku kembali “sekadar main sebentar” karena ada turnamen bareng temen guild. Pas mereka bilang, “Yus, lu tankernya ya,” aku langsung siap perang. Tapi lupa satu hal: Habibah masih bangun.
Aku ngumpet di pojokan ruang tamu, headset nempel, suara game kecil... tapi tetep kedengeran.
Lalu... PLAK!
Kepalaku kena sandal. Sandal rumah. Warna pink.
“MASIH MAIN?!” suara Habibah membelah malam seperti azan maghrib.
“Aku pikir kamu udah tidur...” jawabku gemetar.
“Tidur matamu. Kamu main diem-diem kayak anak SMP nonton sinetron jam 11 malam!”
Malam itu aku diusir ke sofa. Tanpa selimut. Ditemani kipas angin dan seekor cicak yang kayaknya ngejek, “Pantes, bro, pantes.”
Besok paginya aku tobat. Bangun lebih pagi, bantuin Habibah masak, mandiin Faqih (walau airnya kepanasan dikit, Faqih langsung nangis, “Ayah mau masak aku kayak mie instan ya?!”), dan nyapu halaman.
Habibah melongo. “Kamu kenapa, Mas?”
Aku jawab, “Aku sadar, Bi... aku udah terlalu jauh di mata. Sekarang aku mau deket... di hati. Bukan di kaki.”
Dia senyum, tapi kayak senyum ibu guru ke murid bandel. Senyum waspada.
Hari-hari selanjutnya lebih damai. Tapi lalu Faqih nanya hal mengejutkan.
“Ayah kok gak main game lagi? Aku suka loh pas Ayah marah-marah kalah. Lucu.”
Ternyata dia kangen lihat aku misuh-misuh. Bonding keluarga model baru.
Akhirnya kami bikin aturan:
Jam 5 sore sampai 7 malam: waktu keluarga.
Setelah itu, boleh main game—tapi headset harus wireless, dan lokasi main di dapur belakang. Pokoknya jauh dari kabel yang bisa bikin Habibah loncat.
Sejak itu, hidup kami lebih damai. Aku tetap bisa jadi gamer part-time, Habibah bisa nonton drama Korea tanpa interupsi “Heal, dong! Heaaaal!”, dan Faqih tetap bisa nonton ayahnya teriak-teriak kayak komentator bola tiap kalah.
Dalam rumah tangga, kadang yang bikin ribut bukan hal besar, tapi colokan dan kabel headset. Kadang kita gak sadar, yang kita kira “cuma main sebentar” ternyata “menyumbang luka permanen di tumit istri.”
Dan sejak malam disambit sandal itu, aku selalu ingat satu pelajaran penting dalam hidup rumah tangga:
Jangan terlalu jauh di mata, dan pastikan gak terlalu dekat di kaki.