Pagi itu, suasana rumah kami seperti biasa: rame, gaduh, dan penuh cinta yang... sering ditutupin sama suara wajan jatuh.
Namaku Yusron, suami sederhana yang cita-citanya cuma satu: rebahan damai tanpa interogasi. Istriku, Habibah, wanita tegas, tangguh, dan memiliki akurasi lempar sandal yang lebih tinggi dari akurasi sniper di game PUBG.
Kami sudah menikah 6 tahun, dan setiap hari adalah kejutan—dari kejutan listrik setrika nyala, sampai kejutan “loh, kamu lupa hari ulang tahun pernikahan ya?”
Masalah dimulai dari hal kecil. Seperti biasa, pagi-pagi Habibah minta tolong,
“Mas, tolong buang sampah ya.”
Aku jawab sambil masih selonjoran main HP,
“Sebentar ya, Bi. Lagi penting nih…”
Padahal cuma lagi nonton video kucing ngejar laser.
Lima menit… sepuluh menit… tiga video kucing lewat.
Sampah masih di tempat.
Tiba-tiba terdengar suara langkah berat dari belakang. Aku merinding.
Habibah berdiri di belakangku, tangan kanan pegang sapu, tangan kiri udah megang sendal swallow.
“Mas…”
“Hmm?”
“Kalau cinta… jangan dilempar sendal dong.”
Dan... sandal itu mendarat mulus di punggungku.
“AAAAK! Bi, kan katanya jangan dilempar!”
“Lah! Itu bukan sendal, itu pengingat cinta!” katanya sambil nyengir sinis.
Sejak saat itu, sandal menjadi simbol cinta di rumah kami. Bukan bunga, bukan cokelat. Tapi sendal—flip-flop beraroma wangi deterjen.
---
Satu hari, kami bertengkar gara-gara remote TV.
Aku lagi asik nonton pertandingan bola, Habibah pengen nonton sinetron.
“Mas, giliran aku dong.”
“Sebentar lagi goal ini...”
“Tadi juga bilang sebentar!”
“Ini penting, Bi! Indonesia lawan Vietnam!”
Lalu... TV mati.
Aku noleh, dia udah cabut kabelnya.
“Kalau cinta, jangan rebut remote dong,” katanya.
Aku masih ngambek.
“Kalau cinta, harusnya ngerti dong… bola itu sakral.”
Akhirnya, kami diem-dieman dua jam. Sampai tiba-tiba Faqih—anak kami umur 6 tahun—masuk dan berkata,
“Ayah, Bunda... kalau cinta jangan diem-dieman. Lempar sendal aja, cepet baikan kayak biasa!”
Kami berdua langsung ketawa. Anak ini terlalu paham tradisi rumah.
---
Puncaknya terjadi saat Habibah lupa password e-wallet, dan minta tolong aku cek.
“Aku gak bisa masuk, Mas. Kamu coba dong.”
Aku buka aplikasinya, dan bilang,
“Lah, ini kan password-nya ulang tahun kita, masa kamu lupa?”
Dia bengong.
“Lah, yang nentuin password siapa?”
“Aku.”
“Kenapa gak ulang tahun aku aja?”
“Loh... aku kira kita satu visi misi?”
Dia cemberut. Aku tahu ekspresi itu. Itu ekspresi "sebentar lagi sendal jalan-jalan".
Benar saja. Saat aku balik badan, "PLAAGH!" — sandal mendarat lagi. Kali ini pake efek suara.
“Kalau cinta, jangan egois, Mas.”
Aku pun menyerah.
“Baik. Mulai sekarang semua password aku samain sama ulang tahun kamu. Bahkan password Wi-Fi tetangga juga kalau bisa.”
---
Di rumah kami, cinta itu unik.
Kadang diem-dieman, kadang rebutan remote, kadang kena lempar sendal. Tapi di balik semuanya, ada satu hal yang pasti: Habibah sayang aku... dengan cara yang sedikit keras, tapi jelas.
Dan aku pun belajar satu hal penting:
> Kalau cinta, jangan dilempar sendal... kecuali sendalnya bersih dan gak keras-keras amat.