Hari ini, dua tahun sejak aku sah jadi suamimu.
Dan jujur, rasanya kayak baru kemarin aku duduk di pelaminan, deg-degan, sambil mikir,
"Ini serius? Aku bakal hidup seumur hidup sama perempuan sehebat ini?"
Kamu, yang usianya cuma beda setahun dariku—tapi terasa jauh lebih dewasa.
Aku yang masih sering linglung nyari sandal, kamu udah bisa tenang atur banyak hal dalam sekali tarikan napas.
Kamu bukan cuma pasangan.
Kamu tempat aku pulang, belajar, tumbuh, dan merasa cukup.
Dua tahun ini bukan selalu manis. Kadang ada lelah, kadang ada salah paham yang bikin kita sama-sama diam.
Tapi yang paling aku syukuri adalah: kita selalu nemuin cara buat saling rangkul lagi.
Kadang cukup dengan secangkir teh dan obrolan tengah malam.
Kadang cukup dengan kamu bilang, "Udah ya, jangan keras kepala terus. Aku capek."
Dan aku tahu, itu bukan marah.
Itu sayang.
Kamu ngajarin aku banyak hal.
Tentang sabar. Tentang mikir dulu sebelum ngomong.
Tentang pentingnya tisu basah di mobil dan betapa ajaibnya minyak kayu putih.
Tapi lebih dari itu, kamu ngajarin aku, cinta itu bukan soal kata-kata, tapi konsistensi.
Aku tahu, aku belum jadi suami yang paling hebat.
Masih sering lupa naro kunci. Masih suka ketiduran pas disuruh bantu jemur baju.
Tapi kalau ada satu hal yang pasti:
aku cinta kamu, setiap hari. Tanpa jeda. Tanpa tapi.
Anniversary ini, kita nggak butuh selebrasi mewah.
Cukup pelukmu, cukup tatapan matamu yang selalu hangat, cukup tawa kecilmu waktu aku ngelucu receh.
Karena buatku, kamu bukan hanya satu tahun lebih tua. Tapi kamu seribu kali lebih kuat, lebih sabar, dan lebih indah dari semua yang pernah aku temui.
Selamat dua tahun, Sayang.
Terima kasih karena masih memilih aku, merawat cinta ini, dan membuat rumah terasa seperti tempat paling nyaman di dunia.
Kalau boleh jujur, aku mau gini terus.
Selamanya.