Ketika SPSS Menjadi Pengingat Akan Banyaknya Dosa

Setelah gue berhasil ngelewatin tahap sebar kuesioner, uji validitas, reliabilitas, dan lolos dari ancaman Cronbach Alpha di Part 1, gue kira penderitaan udah selesai. Tapi ternyata, perjalanan skripsi kuantitatif itu mirip hubungan toxic: pas lo pikir udah lepas, dia balik lagi… bawa masalah baru.
Dan kali ini, si iblis kecil bernama SPSS datang lagi. Tapi bukan buat bantuin, melainkan buat jadi pengingat bahwa dosa-dosa gue di masa lalu belum lunas.

Bab IV: Tempat Bertemunya Angka dan Air Mata

Bab empat, tempat di mana semua data harus "dibedah" dan ditampilkan dalam bentuk tabel yang keren dan rapi. Kata dosen gue: “Tolong tampilkan output SPSS dan tafsirkan dengan baik.”

Tafsirkan? Emangnya ini pelajaran tafsir?

Gue buka hasil SPSS. Ada output tabel korelasi Pearson, regresi linier berganda, ANOVA, nilai Signifikansi, T hitung, F hitung… dan lain-lain yang membuat gue merasa lebih berdosa dibanding waktu bohong ke ibu soal tugas sekolah.

Gue menatap angka-angka itu lama banget, kayak nungguin mantan balas chat.

“Nilai sig. = 0.043.”
“Koefisien determinasi = 0.672.”
“Adjusted R Square = -0.019.”

Gue ngangguk-ngangguk sok paham, padahal dalam hati berteriak,
“Ya Allah, ampunilah aku yang dulu sering bolos mata kuliah Statistik!”

Ngafalin Tabel Lebih Sulit dari Ngafalin Tanggal Jadian

Dulu pas pacaran, tanggal jadian, ulang tahun, dan hari jadi ke bioskop pertama kali aja gue hafal. Tapi sekarang, disuruh bedain antara nilai sig lebih kecil atau lebih besar dari 0.05 aja gue harus buka catatan lima kali. Di titik itu, gue sadar: lebih gampang jaga hubungan daripada jaga logika statistik.

Gue sampe bikin mantra buat ngingetin diri sendiri:
“Jika Sig < 0.05, maka pengaruhnya signifikan. Jika Sig > 0.05, ya sudah, berarti hubungan kita tidak signifikan dan harus relakan dia.”

Dosen Pembimbing: Malaikat Penjaga Skripsi

Setelah gue tafsir-tafsirkan angka itu sebaik mungkin, gue kirim bab empat ke dosen. Dua hari kemudian, balasannya muncul:

 “Analisis masih kurang tajam. Penjelasan terlalu dangkal. SPSS bukan cuma buat nyalin angka, tapi dimaknai.”

Maknai? Gue ngerasa kayak lagi disuruh kontemplasi. Kayak lagi liat lukisan abstrak terus ditanya: “Apa makna hidup dari warna biru di pojok kanan bawah?”

Padahal gue udah berusaha keras. Gue sampe doa tiap malam, shalat tahajud, sedekah ke tukang parkir, berharap dosen gue lebih lembut hatinya.

SPSS dan Dosa-Dosa Lama

Saat melihat tabel regresi, tiba-tiba gue termenung. Gue sadar, SPSS ini bukan sekadar alat statistik. Tapi dia seperti malaikat pencatat amal, yang setiap error-nya mengingatkan gue:

Dulu gue pernah tidur di kelas Metode Penelitian.

Pernah nyontek UTS Statistik karena ngantuk berat.

Pernah bilang ke temen, “Ngapain belajar SPSS, paling juga lulus.”


Sekarang karma itu datang. SPSS jadi alat penyiksa yang gak bisa gue tolak. Dia bikin laptop gue hang, bikin gue ngetik ulang tabel berkali-kali, dan bikin mental breakdown jam 2 pagi sambil ngemil keripik pedas.

Akhirnya Selesai (Tapi Bekasnya Masih Terasa)

Setelah berkeringat darah dan ngabisin waktu lebih lama dari hubungan LDR, akhirnya bab 4 dan 5 gue dinyatakan “layak maju sidang.” Gue baca email dari dosen sambil berlinang air mata (serius, ada satu tetes netes ke keyboard).

Tapi walaupun skripsi gue akhirnya selesai, setiap kali buka laptop dan lihat icon SPSS, dada gue sesak. Seakan-akan dia berbisik,
“Kita pernah punya masa lalu yang menyakitkan, kan?”

SPSS, Aku Maafkan Kamu (Tapi Tidak Akan Lupa)

Kalau ada yang tanya ke gue nanti: “Mau pakai metode kuantitatif gak?”
Gue bakal jawab, “Maaf, trauma saya belum pulih.”

Dan kalau ada yang baca ini sambil mikir, “Ah, lebay banget.”
Gue doain semoga lo ngerasain juga. Biar ngerti gimana rasanya dikhianati oleh angka.

Posting Komentar